Saat Kulari
(25/02)
Saat aku menulis, disini hujan. Kampung halaman dengan julukan Kep. Tukang besi. Saat ini aku tak tahu yang sedang terjadi dengan dunia, telah lama aku lari dari memperhatikan kegundahan dunia.
Tidak apa-apa jika aku tak mempedulikan dunia ini, aku masih bisa makan, bisa hidup tenang, karena dengan menutup mata kita masih bisa bernafas. Menyenangkan, namun ada yang hilang ketika aku tidak lagi peduli dengan sekitarku, tentang dunia.
Ini tentang kita yang membiarkan kemungkaran. Seolah-olah kita membenarkan, membiasakan yang terjadi. Ini tentang pola pikir pada masyarakat yang semakin sekulerisme, bagaimana nanti generasi berikutnya melihat dan merasakan dunia dengan mengesampingkan nilai agama.
Mungkin kau belum melihat kerusakan yang ditimbulkannya terhadap keluargamu. Karena Terkadang seseorang bergerak, jika itu menggangu dirinya dan orang-orang yang dicintainya. Tak masalah jika ini satu-satunya alasan diriku bergerak, namun alasan ini bisa hilang jika diri ini tidak lagi terganggu dengan kelalaian.
Lalu bagaimana dengan generasi berikutnya?
Jika hanya mampu melihat pijakan diriku, bukan kedepannya. Untuk itulah keimanan seharusnya menjadi alasan diriku bergerak, bagaimanapun juga ini memang alasan terkuat. Dengannya kita tahu bahwa ini perintah, sebagaimana pernah kudengar hadist kurang lebih bahwa, jika kita bangun pada pagi hari hari tanpa memikirkan nasib umat Rasulullah, maka kita tidak termasuk golongannya.
Jika hanya mampu melihat pijakan diriku, bukan kedepannya. Untuk itulah keimanan seharusnya menjadi alasan diriku bergerak, bagaimanapun juga ini memang alasan terkuat. Dengannya kita tahu bahwa ini perintah, sebagaimana pernah kudengar hadist kurang lebih bahwa, jika kita bangun pada pagi hari hari tanpa memikirkan nasib umat Rasulullah, maka kita tidak termasuk golongannya.
Percuma saat ini Kulari, karena ternyata di kampung halamanku tersiar kabar buruk dimasyarakat. Kabarnya adalah kabar beredarnya foto kelakuan senonoh pelaku LGBT hingga seorang wanita di jagad dunia maya.
Aku tidak punya referensi akan berita ini, namun banyaknya kalangan yang membicarakan hal itu dan melihat foto dari dua peristiwa ini. Namun, entah kenapa berita LGBT ini tidak tersiar seluas foto wanita t*lanjang ini. Berita ini banyak tersiar dikalangan kaum muda dan kaum tua tak banyak mengetahui perihal hal ini.
Istilah "ndeso" yang arif layaknya keramahan dan moral, tidak bisa lagi disematkan di daerah ini. Opiniku semua daerah yang tersentuh internet dan media tak bisa lagi dikatakan lagi daerah dengan kearifan lokal.
Bukan salah dari kata internet dan media, namun informasi padanya dan masyarakat yang tidak teredukasi dengan Islam. Mungkin akan ada yang berpikir kita bisa memberikan pemahaman dengan budaya dan kearifan lokal dahulu. Namun yang kadang kita tidak ketahui adalah budaya bisa berubah dengan berubahnya pola pikir masyarakat.
Ada yang tidak tahu, budaya pacaran sekarang ini tidak ada sebelumnya. Ada yang tidak tahu, kewajiban budaya joget pada pernikahan sekarang ini tidak ada sebelumnya. Bisa kau buktikan dengan bertanya pada nenek atau kakek kita yang berumur lebih dari 70 tahun, adakah mereka melakukan itu dulu? Untuk itulah sebuah budaya harusnya mengikuti agama, bukan agama yang menyesuaikan pada budaya.
Tapi saat ini aku sedang lari, lari dari memikirkan umat ini. Aku tahu aku bukan siapa-siapa, tak ada yang aku lakukan sekarang, tapi rasa bersalah ini semakin besar.
Sudah seriuskah aku?
Komentar
Posting Komentar